date

24 jam (Senin - Minggu)

date

Call Us
(021) 6452121

Article Section

news

Teman Khayalan

Pernahkah Anda mengamati saat anak sedang bermain, dia tampak bermain seakan-akan
bersama ‘orang lain’ padahal saat itu tidak ada siapapun yang bersama dirinya? Ia pun kerap
berbicara sendiri seolah-olah sedang terlibat suatu percakapan dengan ‘seseorang”? Hal ini lah
yang disebut teman khayalan. Teman khayalan ini tidak bisa dilihat oleh siapapun selain oleh
anak sendiri.


Biasanya anak membangun konsep teman khayalan saat berusia 3-5 tahun yaitu saat mereka
mulai membangun identitas diri dan mulai mengenali batasan antara khayalan dan
kenyataan/realita. Teman khayalan ada yang tidak terlihat (hanya bisa dilihat oleh anak) dan
ada juga yang berbentuk objek yang terlihat, misalnya boneka. Anak perempuan juga
cenderung lebih banyak yang memiliki teman khayalan daripada anak laki-laki.

Apabila anak memiliki teman khayalan, orangtua tidak perlu takut karena hal itu tergolong
wajar terjadi pada anak-anak sampai usia 7 tahun. Umumnya teman khayalan ini akan hilang
karena anak sudah semakin besar dan sibuk dengan sekolah, memiliki banyak teman dan lebih
menyukai permainan yang melibatkan kebersamaan.

Memiliki teman khayalan adalah salah satu cara yang baik bagi anak untuk dapat
mengekspresikan diri. Ia juga merasa selalu memiliki teman dan tidak merasa kesepian. Selain
itu, teman khayalan juga membantu anak untuk dapat melihat dari sudut pandang orang lain.
Misalnya: saat anak mengatakan, “mama ngomongnya jangan keras-keras, Dodi sedang tidur”
untuk menyatakan keadaan teman khayalannya. Anak juga dapat mengembangkan
kemampuan imajinasi dan berpikir kreatif.

Hal-hal yang dapat dilakukan orangtua saat anak memiliki teman khayalan:

  • Orangtua sebaiknya mendengarkan ‘pembicaraan’ anak dengan teman khayalannya
    untuk mengetahui pemikiran dan perasaan anak saat itu. Melalui hal ini, orangtua
    lebih bisa memahami emosi apa yang mungkin tidak diungkapkan anak secara
    langsung pada orangtua.
  • Tunjukkan minat pada dunia anak.
    Orangtua boleh melibatkan diri dengan teman khayalan anak untuk membuat anak
    menjadi lebih terbuka karena merasa dipahami oleh orangtua.
  • Jangan memberikan penilaian negatif.
    Meskipun menurut kita apa yang dibicarakan anak adalah sesuatu yang tidak masuk
    akal, tetapi sebaiknya orangtua menghindari komentar negatif seperti “Ahh, mana ada
    orang duduk di kursi itu. Kamu bohong ya” atau “Ngapain sih kamu ngomong sama
    boneka terus? Dia kan gak bisa jawab, kamu aneh deh”. Kalimat-kalimat tersebut akan
    melukai hati anak dan bisa jadi akan membuatnya menutup diri.
  • Dorong anak untuk tetap berpijak pada dunia nyata.
    Orangtua sebaiknya memberi kesempatan kepada anak untuk lebih banyak
    berinteraksi dengan teman yang nyata. Berikan aktivitas yang memungkinkan anak
    untuk banyak bertemu dan bersosialisasi dengan teman sebaya sehingga ia tidak terus
    larut dengan teman khayalannya.

Apabila durasi waktu dan intensitas yang dihabiskan anak bermain dengan teman khayalan
lebih besar daripada waktu yang dipakainya bersosialisasi dengan teman nyata, orangtua perlu
waspada. Apalagi jika anak juga sudah mengalami perubahan mood yang signifikan sehingga
mengganggu aktivitas hariannya, atau bahkan anak sudah menyebutkan bahwa ada kontak
fisik dari teman khayalannya, pada kondisi ini sebaiknya orangtua segera mencari ahli yang
profesional di bidang emosi dan perilaku anak.

 

Evita Imelda, M.Psi, Psikolog

Share this article

Comment (0)

Leave Comment

FREE EBOOK!